Adanya perbedaan dalam
memaknai makna toleransi dalam beragama menimbulkan adanya berbagai pendapat
dalam menanggapi hari raya umat Umat Nasrani baru-baru ini. Sehingga, wajar
jika ini menimbulkan banyaknya suara yang beredar dalam masyarakat dan sosial
media tentang bagaimana menyikapi hal tersebut. Mengucapkan selamat natal
misalnya, merupakan hal banyak mendapat sorotan pro-kontra dari berbagai pihak.
Mufti Republik Mesir
pernah menyebutkan bahwa mengucapkan selamat atau tahni-ah memperingati
lahirnya Nabi Isa AS merupakan perbuatan terpuji yang sangat dianjurkan Islam.
Karena kelahiran Nabi Isa adalah kelahiran yang membawa kebaikan, keamanan dan
cinta bagi alam. Selain itu, saling memberi selamat antara sesama anak bangsa
dalam acara-acara keagamaan sangat mendukung untuk memperkuat rasa persatuan
dan kasih sayang antara sesama mereka.
Ada juga yang
mengatakan bahwa mengucapkan selamat memperingati hari lahirnya Nabi Isa AS
adalah terlarang karena mengucapkannya berarti mengakui ketuhanan Yesus dan ini
akan menjerumuskan kita pada kesyirikan. Tentu semua ini memiliki hujjah yang
perlu dipertimbangkan selama bertujuan demi terciptanya nuansa Islam yang
kaffah dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, inilah yang akan
kita soroti, kira-kira apa alasan mendasar yang bisa dijadikan landasan
berpijak yang mampu memberikan gambaran yang lebih moderat untuk masyarakat
dalam menanggapi realita tersebut. Alasan yang juga diharapkan mampu
menampilkan wajah toleransi dalam bingkai islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Sehingga masyarakat dengan sendirinya cerdas mengambil sikap dalam menyikapi
perlu tidaknya memberi tahni-ah kepada umat nasrani tersebut.
Sebuah hadits yang
disampaikan Rasulullah begitu menarik perhatian untuk dicermati dan kemudian dijadikan sebuah
landasan dalam mengambil sikap mengenai ucapan tahni-ah natal kepada
Umat Nasrani ini. Rasulullah SAW pernah bersabda:
أحدكم حتىى يحب
لأخيه مايحب لنفسه
لايؤمن
“Tidaklah sempurna iman seseorang
sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
Dalam hadis ini,
dinyatakan bahwa iman seseorang belum lengkap sebelum ia mencintai untuk
saudaranya apa yang dicintai untuk diri pribadinya. Dua kata ini, yaitu
kata saudara dan kata cinta, akan kita coba jadikan bahan
renungan untuk mencari alasan dasar atau rumusan yang bisa menimbulkan sikap toleransi
dalam mengucapkan tahni-ah tersebut. Apakah ia disebabkan adanya tali
persaudaraan atau karena adanya rasa cinta di antara mereka, baik itu saudara
sebangsa, setanah air dan lain sebagainya. Sehingga, perdebatan demi perdebatan
tidak lagi terjadi setiap tahunnya. Khususnya saat menghadapi perayaan lahirnya
Nabi Isa AS, hari raya Umat Nasrani ini.
1. Rasa persaudaraan
Jika kita katakan
bahwa rasa persaudaraan adalah alasan mendasar yang mendorong untuk mengucapkan
tahni-ah natal, maka perlu kita renungi kembali rasa persaudaraan yang
tertuang dalam Islam. Karena, secara ringkas dalam Islam persaudaraan yang
tertuang dalam Al-Quran ada dua:
-
Persaudaraan
karena nasab keturunan
-
Persaudaraan
karena agama
Nah, persaudaran
karena agama ini lebih kuat dari persaudaraan sedarah. Dengan kata lain, ia
bisa memutuskan hubungan nasab jika
persaudaraan Agama tidak ada. Ini terlihat dengan jelas dari redaksi Al-Quran
yang Allah SWT sebutkan kepada Nabi Nuh AS ketika ia memohon keselamatan untuk
anaknya kandungnya. Namun, dengan tegas Allah Ta’ala menjawab:
يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا
تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْم
Artinya: “wahai
Nuh, dia (anakmu) bukan termasuk keluargamu, karena ia melakukan amalan yang
tidak baik (ingkar kepada Allah). Maka janganlah kamu meminta kepada-Ku sesuatu
yang tidak engkau ketahui hakikatnya”.
Dalam ayat lain di
sebutkan juga bahwa:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang mukmin itu
bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu”.
Ayat yang pertama, QS
Hud ayat 46 ini, menyatakan bahwa hubungan nasab dengan sendirinya akan
terputus lantaran berbedanya keyakinan. Karena itu, Allah SWT menolak do’a
selamat dari Nabi Nuh AS untuk anaknya yang ingkar dan sombong kepada-Nya. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Imam Ar-Rozi dalam tafsirnya ketika menafsirkan
ayat ini, dimana ia menyatakan bahwa poros hubungan keluarga itu adalah agama.
Sementara ayat yang
kedua QS Al-Hujurat ayat 10 menyatakan bahwa cahaya keimanan adalah alasan mendasar yang menjadikan sesorang bersaudara.
Meskipun mereka lahir dari rahim yang berbeda, akan tetapi itu tidak
menghalangi mereka untuk melakukan kebaikan satu sama lain. Kebaikan atau islah
yang dimaksud bisa dilakukan dengan berbagai cara yang dipandang relevan sesuai
kondisi dan waktunya. Mungkin bisa dengan memberikan nasehat, makanan, dan doa
selamat seperti yang disebutkan oleh salah seorang ahli tafsir.
Jadi, kedua ayat ini
memperjelas bahwa rasa persaudaraan tidak tepat untuk dijadikan alasan seorang
muslim mengucapkan selamat hari raya natal kepada Umat Nasrani. Ini terlihat
jelas dari ayat pertama tadi, yaitu antara keduanya tidak ada lagi hubungan.
Meskipun secara nasab seorang nasrani ini adalah bagian keluarga, namun jika
agamanya berbeda maka Al-Qur’an tidak lagi menganggapnya saudara disebabkan persaudaran karena tali agama lebih kuat dari
persaudaraan karena nasab. Ini sesuai dengan apa yang disebutkan para ulama
diantaranya Imam Syahidul Mihrab Syekh
Ramadhan Al-Buthi: “antara muslim dan non-muslim tidak ada persaudaraan yang
mengikat”.
Meskipun demikian, ini
bukan berarti bahwa antara muslim dan non-muslim selalu ada rasa permusuhan,
tidak. Mereka tetap boleh dan dianjurkan untuk saling memberi, saling membantu,
dan saling mengucap tahni-ah, tapi itu semua tidak bersumber dari alasan
bahwa mereka adalah bersaudara. Dengan kata lain, persaudaraan senasab tidak bisa dijadikan satu-satunya hujjah
untuk membenarkan serta membolehkan muslim untuk berbuat baik kepada umat agama
lain. Termasuk di dalamnya mengucapkan selamat kepada Umat Nasrani pada hari
rayanya.
- Rasa cinta
Jika berpedoman kepada
penjelasan mengenai hubungan persaudaraan di atas, secara sepintas ini akan
mendorong kita untuk mengatakan bahwa makna hadis Nabi yang telah disebutkan di
awal tadi khusus untuk orang muslim saja. Seolah-olah maksudnya adalah “tidak
akan sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudara muslimnya
seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Mengapa? Karena pintu persaudaran
telah tertutup rapat.
Sama sekali tidak
demikian, meskipun celah untuk berbuat baik dan mengucapkan selamat dari logika
persaudaraan tidak lagi terbuka, akan tetapi rasa cinta antara sesama makhluk
Allah masih membuka lebar pintu peluangnya untuk hal tersebut. Karena, mafhum
mukholafah dari hadis itu muhmal atau tidak dipakai. Ini dikuatkan
oleh hadis lain sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Ibnu Majah dalam
kitab sunannya bahwa Rasullah pernah bersabda:
"أحِبَّ
للناس ما تحب لنفسك تكن مسلمًا
“Cintailah untuk manusia apa yang kamu
sukai niscaya kamu akan menjadi muslim sejati”.
Sementara dalam
redaksi Imam Tirmizi disebutkan bahwa:
أفضلُ الإيمانِ أنْ تُحِبَّ للنَّاس ما تُحبُّ لنفسك ، وتكرَه لهم ما تكرهُ
لنفسك
“Iman yang paling afdhol adalah ketika
engkau mencintai untuk manusia apa yang kamu sukai, dan membenci untuk mereka
apa yang kamu benci”.
Nah, di sini kita
dianjurkan untuk mencintai manusia. Ya, kata An-Naas atau manusia
dalam bahasa arab merupakan isim jamak dari kata insan. Dengan
demikian, lafaz ini mengandung makna umum
untuk semua anak keturunan Adam AS. Dalam kamus Bahasa Indonesia
disebutkan bahawa manusia adalah makhluk yang berakal budi. Jika demikian,
tentu ia mencakup semua anak manusia tanpa membedakan agama, golongan, suku dan
bangsanya.
Jadi, masih ada
peluang untuk menentukan alasan yang tepat untuk mengucapkan selamat hari raya
kepada Umat Nasrani, yaitu dari pintu gerbang rasa cinta terhadap sesama. Cinta
yang dimaksud disini, bukanlah dorongan untuk mencintai orang lain sama seperti
mencintai diri sendiri. Karena pada dasarnya, ini sangat sulit lantaran manusia
diciptakan dengan fitrah hubbunnafs. Akan tetapi, maksudnya adalah
bagaimana kita bisa mencintai untuk orang lain apa yang kita cintai untuk pribadi sendiri.
Contohnya ketika seseorang ingin diberi hidayah, maka dengan cintanya ia akan
menyukai hal tersebut untuk orang lain. ketika seorang menyukai harta, maka
dengan cintanya, ia akan menyukai sejumlah harta tersebut ada ditangan orang
lain. Jika ia mendambakan rumah, maka apa yang didambakannya juga ia inginkan
untuk orang lain. Begitu juga dengan ucapan selamat atau tahni-ah,
seorang muslim sangat senang diberi tahni-ah, maka kecintaanya akan hal
tersebut menuntutnya untuk melakukan hal serupa kepada orang lain.
Ini juga sesuai dengan
arti kata tahni-ah itu sendiri. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, jika ditinjau dari segi bahasa tahni-ah adalah
lawan dari kata takziah (ungkapan belasungkawa) atau harapan yang
diucapkan kepada seseorang semoga urusannya menjadi sumber kebahagiaan
untuknya. Singkatya memberikan kata-kata yang menyenangkan bertepatan dengan
hal-hal tertentu. Dengan begitu, tahni-ah natal berarti menyatakan
ucapan selamat kepada umat yang merayakannya dengan harapan hal tersebut bisa
membuatnya bahagia. Lembaga fatwa Mesir menambahkan bahwa tahni-ah yang
dimaksud, bukan saja karena keinginan untuk memasukan kebahagian ke dalam hati
mereka. Akan tetapi, juga lantaran kecintaan seorang muslim terhadap Nabi Isa
AS. Ini disebabkan, Islam menganjurkan umatnya untuk beriman kepada para Nabi
tanpa membedakan mereka satu sama lain. Jelas bahwa kelahiran mereka merupakan
pencerahan dan rahmat bagi semesta, ditangan merekalah kunci hidayah dan
pentujuk bagi umat itu berada. Karena itu, merupakan hal yang wajar jika umat
Islam bergembira dan mengungkapkan kesenanganya kepada umat yang memperingati
kelahiran Nabi tersebut.
Dengan ini, tidak
diragukan lagi kebolehan mengucapkan tahi-ah lahirnya Nabi Isa AS dari
seorang muslim untuk umat nasrani yang dikenalnya. Karena rumusannya
adalah apa yang kita cintai secara personal juga merupakan hal yang kita
inginkan untuk orang lain.
Akan tetapi, perlu
digarisbawahi bahwa ini berlaku jika tahni-ah yang dimaksud tidak melebar ke ranah yang lebih
luas. maka jika alasan cinta terhadap sesama ini melebar ke ranah yang
lebih luas sehingga mengantarkan muslim untuk meridhai apa yang dilarang oleh
Allah Ta’ala, maka rumusan tadi tidak lagi relevan untuk dipakai. Bukan
disebabkan hari rayanya melainkan karena cara perayaannya yang tidak sesuai
dengan Agama Islam.
Walau bagaimanapun,
perlu diingat bahwa Al-Qur’an sendiri mengakui bahwa umat nasrani adalah bangsa
yang juga memiliki rasa cinta kasih kepada orang mukmin. Lihat saja dalam Surat
Al-Maidah ayat 82:
وَلَتَجِدَنَّ
أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ ۚ
ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا
يَسْتَكْبِرُونَ
Artinya:“dan kamu akan menemukan
umat yang paling banyak rasa cintanya kepada orang-orang yang beriman adalah
mereka yang mengatakan “kami adalah kaum nasrani”, itu (karena) sesunggugunya
di antara mereka itu ada para pendeta dan para rahib. Juga karena mereka tidak
menyombongkan diri”.
Sekarang pertanyaannya
adalah apakah tidak pantas untuk menampilkan wajah toleransi Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan
cara membalas cinta yang telah Al-Qur’an sebutkan?
Dengan ini, jelaslah
bahwa adanya rasa cinta terhadap sesama adalah hal yang bisa dijadikan alasan
abadi untuk menentukan boleh atau tidaknya mengucapkan tahniah natal kepada
umat nasrani. Alasan yang penulis kira sangat cocok sebagai acuan dalam menentukan
sikap toleran menghadapi perbed aan yang ada. Apalagi setelah banyaknya ulama
mengamalkan tahni-ah yang dimaksud. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar