Jumat, 13 Januari 2017

Dasar Toleransi Dalam Menampilkan Islam Rahmatan Lil 'Alamin



Adanya perbedaan dalam memaknai makna toleransi dalam beragama menimbulkan adanya berbagai pendapat dalam menanggapi hari raya umat Umat Nasrani baru-baru ini. Sehingga, wajar jika ini menimbulkan banyaknya suara yang beredar dalam masyarakat dan sosial media tentang bagaimana menyikapi hal tersebut. Mengucapkan selamat natal misalnya, merupakan hal banyak mendapat sorotan pro-kontra dari berbagai pihak. 

Mufti Republik Mesir pernah menyebutkan bahwa mengucapkan selamat atau tahni-ah memperingati lahirnya Nabi Isa AS merupakan perbuatan terpuji yang sangat dianjurkan Islam. Karena kelahiran Nabi Isa adalah kelahiran yang membawa kebaikan, keamanan dan cinta bagi alam. Selain itu, saling memberi selamat antara sesama anak bangsa dalam acara-acara keagamaan sangat mendukung untuk memperkuat rasa persatuan dan kasih sayang antara sesama mereka.

Ada juga yang mengatakan bahwa mengucapkan selamat memperingati hari lahirnya Nabi Isa AS adalah terlarang karena mengucapkannya berarti mengakui ketuhanan Yesus dan ini akan menjerumuskan kita pada kesyirikan. Tentu semua ini memiliki hujjah yang perlu dipertimbangkan selama bertujuan demi terciptanya nuansa Islam yang kaffah dalam kehidupan sehari-hari.

Nah, inilah yang akan kita soroti, kira-kira apa alasan mendasar yang bisa dijadikan landasan berpijak yang mampu memberikan gambaran yang lebih moderat untuk masyarakat dalam menanggapi realita tersebut. Alasan yang juga diharapkan mampu menampilkan wajah toleransi dalam bingkai islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sehingga masyarakat dengan sendirinya cerdas mengambil sikap dalam menyikapi perlu tidaknya memberi tahni-ah kepada umat nasrani tersebut.

Sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah begitu menarik perhatian untuk  dicermati dan kemudian dijadikan sebuah landasan dalam mengambil sikap mengenai ucapan tahni-ah natal kepada Umat Nasrani ini. Rasulullah SAW pernah bersabda:
أحدكم حتىى يحب لأخيه مايحب لنفسه  لايؤمن
“Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.

Dalam hadis ini, dinyatakan bahwa iman seseorang belum lengkap sebelum ia mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk diri pribadinya. Dua kata ini, yaitu kata saudara dan kata cinta, akan kita coba jadikan bahan renungan untuk mencari alasan dasar atau rumusan yang bisa menimbulkan sikap toleransi dalam mengucapkan tahni-ah tersebut. Apakah ia disebabkan adanya tali persaudaraan atau karena adanya rasa cinta di antara mereka, baik itu saudara sebangsa, setanah air dan lain sebagainya. Sehingga, perdebatan demi perdebatan tidak lagi terjadi setiap tahunnya. Khususnya saat menghadapi perayaan lahirnya Nabi Isa AS, hari raya Umat Nasrani ini.

1. Rasa persaudaraan
Jika kita katakan bahwa rasa persaudaraan adalah alasan mendasar yang mendorong untuk mengucapkan tahni-ah natal, maka perlu kita renungi kembali rasa persaudaraan yang tertuang dalam Islam. Karena, secara ringkas dalam Islam persaudaraan yang tertuang dalam Al-Quran ada dua:
-          Persaudaraan karena nasab keturunan
-          Persaudaraan karena agama

Nah, persaudaran karena agama ini lebih kuat dari persaudaraan sedarah. Dengan kata lain, ia bisa memutuskan  hubungan nasab jika persaudaraan Agama tidak ada. Ini terlihat dengan jelas dari redaksi Al-Quran yang Allah SWT sebutkan kepada Nabi Nuh AS ketika ia memohon keselamatan untuk anaknya kandungnya. Namun, dengan tegas Allah Ta’ala menjawab:

يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْم
Artinya: “wahai Nuh, dia (anakmu) bukan termasuk keluargamu, karena ia melakukan amalan yang tidak baik (ingkar kepada Allah). Maka janganlah kamu meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui hakikatnya”.

Dalam ayat lain di sebutkan juga bahwa:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu”.

Ayat yang pertama, QS Hud ayat 46 ini, menyatakan bahwa hubungan nasab dengan sendirinya akan terputus lantaran berbedanya keyakinan. Karena itu, Allah SWT menolak do’a selamat dari Nabi Nuh AS untuk anaknya yang ingkar dan sombong kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Imam Ar-Rozi dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini, dimana ia menyatakan bahwa poros hubungan keluarga itu adalah agama.

Sementara ayat yang kedua QS Al-Hujurat ayat 10 menyatakan bahwa cahaya keimanan adalah alasan  mendasar yang menjadikan sesorang bersaudara. Meskipun mereka lahir dari rahim yang berbeda, akan tetapi itu tidak menghalangi mereka untuk melakukan kebaikan satu sama lain. Kebaikan atau islah yang dimaksud bisa dilakukan dengan berbagai cara yang dipandang relevan sesuai kondisi dan waktunya. Mungkin bisa dengan memberikan nasehat, makanan, dan doa selamat seperti yang disebutkan oleh salah seorang ahli tafsir.

Jadi, kedua ayat ini memperjelas bahwa rasa persaudaraan tidak tepat untuk dijadikan alasan seorang muslim mengucapkan selamat hari raya natal kepada Umat Nasrani. Ini terlihat jelas dari ayat pertama tadi, yaitu antara keduanya tidak ada lagi hubungan. Meskipun secara nasab seorang nasrani ini adalah bagian keluarga, namun jika agamanya berbeda maka Al-Qur’an tidak lagi menganggapnya saudara disebabkan  persaudaran karena tali agama lebih kuat dari persaudaraan karena nasab. Ini sesuai dengan apa yang disebutkan para ulama diantaranya Imam Syahidul Mihrab  Syekh Ramadhan Al-Buthi: “antara muslim dan non-muslim tidak ada persaudaraan yang mengikat”. 

Meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa antara muslim dan non-muslim selalu ada rasa permusuhan, tidak. Mereka tetap boleh dan dianjurkan untuk saling memberi, saling membantu, dan saling mengucap tahni-ah, tapi itu semua tidak bersumber dari alasan bahwa mereka adalah bersaudara. Dengan kata lain, persaudaraan senasab  tidak bisa dijadikan satu-satunya hujjah untuk membenarkan serta membolehkan muslim untuk berbuat baik kepada umat agama lain. Termasuk di dalamnya mengucapkan selamat kepada Umat Nasrani pada hari rayanya.

  1. Rasa cinta 
Jika berpedoman kepada penjelasan mengenai hubungan persaudaraan di atas, secara sepintas ini akan mendorong kita untuk mengatakan bahwa makna hadis Nabi yang telah disebutkan di awal tadi khusus untuk orang muslim saja. Seolah-olah maksudnya adalah “tidak akan sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudara muslimnya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Mengapa? Karena pintu persaudaran telah tertutup rapat.

Sama sekali tidak demikian, meskipun celah untuk berbuat baik dan mengucapkan selamat dari logika persaudaraan tidak lagi terbuka, akan tetapi rasa cinta antara sesama makhluk Allah masih membuka lebar pintu peluangnya untuk hal tersebut. Karena, mafhum mukholafah dari hadis itu muhmal atau tidak dipakai. Ini dikuatkan oleh hadis lain sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Ibnu Majah dalam kitab sunannya bahwa Rasullah pernah bersabda:

"أحِبَّ للناس ما تحب لنفسك تكن مسلمًا
“Cintailah untuk manusia apa yang kamu sukai niscaya kamu akan menjadi muslim sejati”.
Sementara dalam redaksi Imam Tirmizi disebutkan bahwa: 

أفضلُ الإيمانِ أنْ تُحِبَّ للنَّاس ما تُحبُّ لنفسك ، وتكرَه لهم ما تكرهُ لنفسك
“Iman yang paling afdhol adalah ketika engkau mencintai untuk manusia apa yang kamu sukai, dan membenci untuk mereka apa yang kamu benci”.

Nah, di sini kita dianjurkan untuk mencintai manusia. Ya, kata An-Naas atau manusia dalam bahasa arab merupakan isim jamak dari kata insan. Dengan demikian, lafaz ini mengandung makna umum  untuk semua anak keturunan Adam AS. Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahawa manusia adalah makhluk yang berakal budi. Jika demikian, tentu ia mencakup semua anak manusia tanpa membedakan agama, golongan, suku dan bangsanya.

Jadi, masih ada peluang untuk menentukan alasan yang tepat untuk mengucapkan selamat hari raya kepada Umat Nasrani, yaitu dari pintu gerbang rasa cinta terhadap sesama. Cinta yang dimaksud disini, bukanlah dorongan untuk mencintai orang lain sama seperti mencintai diri sendiri. Karena pada dasarnya, ini sangat sulit lantaran manusia diciptakan dengan fitrah hubbunnafs. Akan tetapi, maksudnya adalah bagaimana kita bisa mencintai untuk orang lain apa  yang kita cintai untuk pribadi sendiri. Contohnya ketika seseorang ingin diberi hidayah, maka dengan cintanya ia akan menyukai hal tersebut untuk orang lain. ketika seorang menyukai harta, maka dengan cintanya, ia akan menyukai sejumlah harta tersebut ada ditangan orang lain. Jika ia mendambakan rumah, maka apa yang didambakannya juga ia inginkan untuk orang lain. Begitu juga dengan ucapan selamat atau tahni-ah, seorang muslim sangat senang diberi tahni-ah, maka kecintaanya akan hal tersebut menuntutnya untuk melakukan hal serupa kepada orang lain. 

Ini juga sesuai dengan arti kata tahni-ah itu sendiri. Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith,  jika ditinjau dari segi bahasa tahni-ah adalah lawan dari kata takziah (ungkapan belasungkawa) atau harapan yang diucapkan kepada seseorang semoga urusannya menjadi sumber kebahagiaan untuknya. Singkatya memberikan kata-kata yang menyenangkan bertepatan dengan hal-hal tertentu. Dengan begitu, tahni-ah natal berarti menyatakan ucapan selamat kepada umat yang merayakannya dengan harapan hal tersebut bisa membuatnya bahagia. Lembaga fatwa Mesir menambahkan bahwa tahni-ah yang dimaksud, bukan saja karena keinginan untuk memasukan kebahagian ke dalam hati mereka. Akan tetapi, juga lantaran kecintaan seorang muslim terhadap Nabi Isa AS. Ini disebabkan, Islam menganjurkan umatnya untuk beriman kepada para Nabi tanpa membedakan mereka satu sama lain. Jelas bahwa kelahiran mereka merupakan pencerahan dan rahmat bagi semesta, ditangan merekalah kunci hidayah dan pentujuk bagi umat itu berada. Karena itu, merupakan hal yang wajar jika umat Islam bergembira dan mengungkapkan kesenanganya kepada umat yang memperingati kelahiran Nabi tersebut.

Dengan ini, tidak diragukan lagi kebolehan mengucapkan tahi-ah lahirnya Nabi Isa AS dari seorang muslim untuk umat nasrani yang dikenalnya. Karena rumusannya adalah apa yang kita cintai secara personal juga merupakan hal yang kita inginkan untuk orang lain.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa ini berlaku jika tahni-ah  yang dimaksud tidak melebar ke ranah yang lebih luas. maka jika alasan cinta terhadap sesama ini melebar ke ranah yang lebih luas sehingga mengantarkan muslim untuk meridhai apa yang dilarang oleh Allah Ta’ala, maka rumusan tadi tidak lagi relevan untuk dipakai. Bukan disebabkan hari rayanya melainkan karena cara perayaannya yang tidak sesuai dengan Agama Islam.

Walau bagaimanapun, perlu diingat bahwa Al-Qur’an sendiri mengakui bahwa umat nasrani adalah bangsa yang juga memiliki rasa cinta kasih kepada orang mukmin. Lihat saja dalam Surat Al-Maidah ayat 82:

وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
Artinya:“dan kamu akan menemukan umat yang paling banyak rasa cintanya kepada orang-orang yang beriman adalah mereka yang mengatakan “kami adalah kaum nasrani”, itu (karena) sesunggugunya di antara mereka itu ada para pendeta dan para rahib. Juga karena mereka tidak menyombongkan diri”.

Sekarang pertanyaannya adalah apakah tidak pantas untuk menampilkan wajah toleransi  Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan cara membalas cinta yang telah Al-Qur’an sebutkan?

Dengan ini, jelaslah bahwa adanya rasa cinta terhadap sesama adalah hal yang bisa dijadikan alasan abadi untuk menentukan boleh atau tidaknya mengucapkan tahniah natal kepada umat nasrani. Alasan yang penulis kira sangat cocok sebagai acuan dalam menentukan sikap toleran menghadapi perbed aan yang ada. Apalagi setelah banyaknya ulama mengamalkan tahni-ah yang dimaksud. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar